Melihat Lebih Jernih 5.0, adalah sebuah gerakan memasyarakatkan “hadir dan berada” di era pikiran wandering kemana-mana. Ia menghadirkan pertemuan, salah satunya dengan membangun ruang kreatif terapeutik, di mana kita bisa kembali menyentuh hal-hal manual dan sederhana.
Psikologi menyebut praktik ini sebagai bentuk embodied cognition—sebuah konsep bahwa pikiran kita dipengaruhi oleh gerakan tubuh. Saat tangan bergerak menyulam, melipat, atau mencoret, otak ikut menata emosi.
Kegiatan-kegiatan kreatif ini membuka akses menuju kondisi psikologis yang disebut Mihaly Csikszentmihalyi sebagai flow—keadaan ketika seseorang begitu larut dalam aktivitas, hingga lupa waktu, cemas berkurang, dan pikiran menjadi ringan. Flow adalah salah satu kunci kebahagiaan modern yang sering kita cari dalam dunia digital, tetapi justru lebih mudah ditemukan dalam praktik manual yang sederhana.
Di ruang aktivitas kreatif Melihat Lebih Jernih 5.0 ini, aktivitas manual bukan sekadar hobi, tetapi sebuah bentuk terapi:
- Journaling membantu kita mengatur emosi, bagian dari strategi self-regulation dalam psikologi klinis.
- Knitting & menyulam melatih fokus dan kesabaran, sekaligus menenangkan sistem saraf.
- Melukis memberi jalan bagi emosi yang sulit diucapkan.
- Origami melatih ketekunan, mengajarkan makna dari proses.
- Doodles memberi ruang spontanitas, melepas kebutuhan untuk selalu sempurna.
Semua ini memberi kita kesempatan untuk grounding, sebuah praktik psikologis yang membuat kita kembali terhubung dengan tubuh dan lingkungan sekitar, alih-alih terus terjebak dalam pikiran yang lari kemana-mana.
Melihat Lebih Jernih 5.0 tidak memusuhi teknologi. Justru ia mengajarkan kita untuk berdamai dengannya: tahu kapan kita terhubung, dan tahu kapan harus istirahat. Mindfulness adalah kesadaran penuh—bukan hanya soal duduk diam bermeditasi, tapi juga soal bagaimana kita mewarnai, melipat kertas, atau menulis dengan tangan, bukan menggunakan qwerty touchscreen kita saja.
Karena pada akhirnya, manusia bukan hanya makhluk digital. Kita juga makhluk yang butuh menyentuh, mencium aroma kertas, merasakan tekstur benang, mendengar gesekan pensil. Semua itu mengingatkan kita, bahwa ada kehidupan di luar layar—kehidupan yang lebih lambat, lebih terasa jernih, dan lebih “manusia”.
Seperti kata Jonn Kabat-Zinn, mindfulness adalah “the awareness that arises through paying attention, on purpose, in the present moment, non-judgmentally.”
Kesadaran yang lahir dari memberi perhatian dengan sengaja, pada saat ini, tanpa menghakimi. Maka, melalui ruang kreatif inilah kita belajar kembali: bahwa berhenti sejenak bukan berarti tertinggal, melainkan cara untuk menjaga jiwa agar tetap utuh di tengah derasnya arus zaman.
