Pikiran tak bisa berkonsentrasi pada satu fokus, ternyata menjadi hal biasa untuk banyak orang saat ini. Gangguan ini menjadi fenomena yang nyata di masyarakat modern. Salah satu penyebab utamanya adalah ‘kecemasan’, yang dalam psikologi klinis dipahami sebagai kondisi emosi negatif dengan gejala kewaspadaan berlebih, rasa tidak aman, dan pikiran yang sulit tenang (Anxiety).
Kecemasan ini kerap diperparah oleh derasnya informasi yang mengalir pada arus digital. Notifikasi tanpa henti, aliran informasi yang masif, hingga tekanan sosial di media membuat otak bekerja melebihi kapasitasnya. Teori cognitive load menjelaskan bahwa memori kerja manusia terbatas; ketika ia dibanjiri stimulus secara simultan, sistem atensi akan cepat mengalami kelelahan. Dampaknya adalah menurunnya konsentrasi, meningkatnya iritabilitas, dan terganggunya kemampuan membuat keputusan.
Data terbaru mendukung hal ini. American Psychological Association (APA, 2024) melaporkan bahwa lebih dari 60% generasi muda (18–34 tahun) mengalami kesulitan fokus akibat tekanan mental berbasis digital. World Health Organization (WHO, 2025) bahkan mencatat kenaikan hampir 25% kasus gangguan kecemasan global sejak pandemi, dengan sebagian besar kasus terkonsentrasi di masyarakat yang sangat bergantung pada perangkat digital.
Namun, menarik untuk dicatat bahwa digitalisasi bukanlah masalah tunggal. Dunia digital telah menjadi infrastruktur kehidupan: dari pekerjaan, pendidikan, hingga interaksi sosial. Karena itu, menyalahkan atau menghindarinya sama sekali tidak membawa dampak signifikan. Justru yang dibutuhkan adalah strategi adaptif.
Psikologi modern menawarkan beberapa pendekatan. Mindfulness-based cognitive therapy (MBCT), misalnya, terbukti efektif membantu individu mengelola kecemasan dengan melatih kesadaran penuh atas pikiran dan emosi. Jon Kabat-Zinn menekankan pentingnya “menerima gelombang” alih-alih berusaha menghentikannya—artinya, kita belajar mengatur diri di tengah arus digital, bukan melawannya secara total.
Fenomena lain yang menarik adalah munculnya solusi digital itu sendiri: aplikasi meditasi, jurnal daring, hingga perangkat lunak pengatur fokus. Paradoks ini menunjukkan bahwa medium yang menjadi sumber gangguan sekaligus menyediakan alat untuk mengatasinya.
Dengan demikian, tantangan masyarakat modern bukanlah bagaimana menghapus dunia digital, melainkan bagaimana menata ulang ritme hidup di dalamnya. Fokus bukanlah kondisi yang permanen, melainkan keterampilan yang harus dilatih ulang setiap hari. Kecemasan, di sisi lain, adalah sinyal tubuh yang mengingatkan bahwa kita membutuhkan jeda.
Masyarakat hari ini tidak bisa lagi berharap pada keheningan mutlak seperti generasi sebelumnya. Yang bisa dilakukan adalah menciptakan “hening relatif”: waktu yang dipilih secara sadar untuk berhenti, bernapas, dan memulihkan perhatian. Dengan cara itu, kita tetap dapat hidup di tengah riuh digital, tanpa sepenuhnya kehilangan kendali atas diri sendiri.
