Seorang teman menelpon sambil tersedu-sedu. Ia marah, ia panik, ia kecewa, ia terluka.
Baru saja kemarin, ia dapat kabar kalau lamaran kerjanya ditolak. Bukan karena kurang kompeten, bukan karena nilai IPK-nya rendah, bukan karena portofolionya buruk. Ia ditolak karena satu hal yang ditulisnya dengan jujur pada formulir kesehatan: bipolar disorder type II.
Teman saya ini, sebut saja Anne Hathaway, seorang sarjana psikologi. Ironis, bukan? Ia mempelajari teori-teori tentang perilaku manusia, memahami dinamika afeksi, bahkan hafal DSM-5 psikologi seperti kitab suci di luar kepala, namun tetap saja ia menjadi korban dari teori-teori—yang seharusnya membuat ia merasa aman.
Ia tertawa getir waktu bercerita. “Katanya perusahaan ini punya employee assistance program untuk kesehatan mental,” ucap Anne di ujung telepon, dengan nada kecewa. “Tapi ketika aku jujur, malah dibilang not a good fit.”
Tuan dan puan yang budiman, tentu Anda bisa menyelami getir dalam kisah kawan saya, Anne. Ia ditolak bukan karena gagal bekerja, tetapi karena dianggap berpotensi tidak stabil — sebuah kata yang diucapkan dengan dingin oleh orang-orang yang tak pernah belajar betapa keras perjuangan seseorang untuk menata kestabilan diri setiap hari (baca: setiap saat).
Padahal, dalam teori psikologi klinis yang sederhana saja, mood bipolar tidaklah konstan seperti skenario film picisan, yang hanya mengenal adegan tertawa lalu menangis begitu aja. Ia kompleks. Ada jeda, ada fase, ada manajemen diri yang bisa dipelajari. Seorang individu dengan bipolar yang menjalani terapi kognitif-perilaku dan stabilisasi mood dengan pengawasan psikiater, bisa bekerja, mencipta, bahkan memimpin (ini bener loh ya, memimpin).
Namun negeri ini —atau lebih tepatnya, ruang kerja perusahaan di negeri kita— seringkali masih dikuasai oleh satu keyakinan purba: bahwa gangguan kesehatan mental itu adalah aib, bukan sebuah kondisi medis yang punya dasar ilmiah.
Saya mendengar isak Anne ini berhenti sejenak di telepon. “Lucu ya,” katanya, “mereka minta aku tanda tangan surat pernyataan sehat. Tapi mereka lupa, sehat itu juga tentang lingkungan yang nggak menyakiti aku, sebagai manusia, sama seperti orang lain.”
Saya ikut marah. Saya ikut kecewa. Saya ikut terluka.
Betapa getir nasib generasi yang sibuk teriak-teriak tentang mental health awareness di media sosial, tapi malah memberangus hak-haknya di meja wawancara kerja. Kita berbicara tentang resilience dan emotional intelligence dalam seminar HRD korporasi-korporasi di negeri ini, tapi lupa bahwa kecerdasan emosional terbesar, adalah menerima kerentanan dan kondisi sakit orang lain.
Mereka bilang, perusahaan hanya ingin stabilitas. Tapi bukankah stabilitas yang terlalu kaku itu malah justru, ciri gangguan obsesif?
Mereka takut pada perubahan suasana hati, padahal manajer mereka sendiri berganti emosi setiap kali habis rapat mingguan, punya isu dengan manajemen kemarahan dalam diri mereka, dengan menyembur tanpa alasan pada bawahan.
Tuan dan puan yang baik hati, di balik diagnosis “bipolar” ada manusia yang mencoba hidup dengan kesadaran penuh akan naik-turunnya diri. Sementara di balik jas, dasi, dan logo perusahaan raksasa sebuah korporasi, ada sistem yang justru malah nggak sadar diri — narsistik, penuh kontrol, dan fobia terhadap keunikan setiap individu. Bukankah itu yang lebih berbahaya?
Sungguh derita tiada akhir negeri ini memiliki para pengambil kebijakan sumber daya manusia yang nyata-nyata buta akan kondisi emosi setiap individu manusia. Mereka menyusun standar kompetensi, tapi tak punya empati. Mereka menolak yang dianggap “tidak stabil,” padahal kestabilan mereka pun hanyalah hasil dari Tuna Edukasi.
Dan saya, yang mendengar tangis teman saya itu, hanya bisa diam.
Mungkin inilah negeri yang menulis mental health awareness month di kalender, tapi malah menyakiti seorang manusia dalam formulir lamaran kerja, yang seharusnya bisa menjadi haknya. Jadi barangkali, bukanlah Anne Hathaway—kawan saya ini—yang sakit, tapi korporasi yang kehilangan empati, kehilangan kemanusiaan, dan kehilangan kemampuan untuk merasa, karena mereka Tuna Edukasi pada isu yang mereka gaungkan sendiri, sambil menulis “Mental Health Matters”.