Kesehatan mental sering dibicarakan, tapi jarang benar-benar dipahami. Di tengah dunia yang sibuk menyuruh kita “tenang”, “bersyukur”, dan “berpikir positif”, tulisan-tulisan Foggy FF mengingatkan bahwa kewarasan bukan soal niat pribadi, tapi juga soal sistem yang (sering kali) tidak berpihak.
Lewat tiga tulisan pilihan hari ini, tepat di peringatan Hari Kesehatan Mental Sedunia, kita diajak untuk melihat lebih jernih: tentang bagaimana tekanan sosial, ekonomi, dan budaya bisa membuat “waras” menjadi bentuk perlawanan, tentang pentingnya kepedulian sosial ketika negara absen, dan tentang kesadaran radikal yang memberi makna bahkan di tengah penderitaan.
Tiga kisah, satu benang merah: menyadari, memahami, dan melawan—mulai dari diri sendiri, tanpa berhenti berharap sistem ikut berubah.
Ironi Kesehatan Mental
Negara mengajak warganya untuk “berpikir positif”, sementara kebijakan dan realitas hidup justru menambah beban pikiran. Layanan kesehatan jiwa terbatas, stigma masih kuat, biaya terapi mahal, dan korupsi merajalela.
Foggy menulis dengan tajam tentang kontradiksi ini. Bagaimana masyarakat diminta menjaga kewarasan di tengah sistem yang justru membuat mereka cemas, lelah, dan tak berdaya. Di balik setiap kampanye mental health awareness, ada pertanyaan yang menggantung: bagaimana bisa kita tenang jika kebijakan negara sendiri tidak berpihak pada kesejahteraan mental warganya?
— Dimuat di Magdalene https://magdalene.co/story/negara-perburuk-stigma-kesehatan-mental/
Darurat Kesehatan Mental
Melalui tragedi Banjaran—seorang ibu yang mengakhiri hidup bersama dua anaknya—Foggy menyingkap wajah nyata darurat kesehatan mental di Indonesia. Kasus ini bukan sekadar kisah pilu satu keluarga, melainkan cermin dari sistem yang gagal: fasilitas minim, stigma kuat, dan kepedulian sosial yang absen.
Tulisan ini mengingatkan bahwa depresi bukan kelemahan pribadi, tapi penyakit yang perlu dukungan dan akses yang adil. Ketika negara absen, masyarakat seharusnya hadir. Karena kepedulian bisa menjadi penopang terakhir bagi mereka yang nyaris kehilangan harapan.
— Dimuat di Bandung Bergerak https://bandungbergerak.id/article/detail/1599847/darurat-kesehatan-mental-tragedi-banjaran-dan-peran-penting-masyarakat-sebagai-sistem-pendukung
Kesadaran Penuh dan Kebebasan Radikal
Dalam ulasannya atas Perempuan di Titik Nol karya Nawal El Saadawi, Foggy menafsirkan perjalanan tokoh Firdaus sebagai bentuk kesadaran radikal, dari korban menuju kendali atas diri sendiri. Firdaus, yang hidup dalam kekerasan dan ketidakadilan, akhirnya menemukan kebebasan bukan dengan melarikan diri, tapi dengan menerima realitas dan menolak tunduk.
Foggy mengaitkannya dengan konsep mindfulness dan eksistensialisme: bahwa kesadaran terhadap penderitaan bisa menjadi langkah menuju kebebasan sejati. Tulisan ini bukan sekadar refleksi sastra, tapi juga ajakan untuk melihat bahwa dalam kesadaran, selalu ada ruang bagi keberanian, bahkan di tengah sistem yang menindas.
— Dipublikasikan di Medium https://medium.com/@FoggyFF/kesadaran-penuh-dan-kebebasan-radikal-b639cc42ab4f
Gerakan #MelihatLebihJernih akan terus berjalan—melalui tulisan, dialog, dan ruang bersama—karena memahami dunia dan diri sendiri adalah langkah pertama untuk membuat keduanya jadi tempat yang lebih sehat.
