Ada rasa takut yang masih ada sampai hari ini. Mungkin karena sebenarnya aku perlu bantuan profesional, tetapi aku belum melakukannya. Selagi aku masih bisa berpikir jernih, aku percaya aku masih bisa bertahan. Bahkan, kadang kala aku tertarik untuk menjadi gila.
Dulu, Ibu pernah berkata bahwa aku anak yang pintar dan kreatif. Aku pandai menggambar dan ikut kompetisi sejak TK. Namun, segalanya berubah saat aku duduk di kelas tiga SD. Sejak saat itu, aku mulai mengenal rasa dijauhi, diasingkan, dan disalahpahami. Saat kelas dua SD, teman sebangkuku tidak naik kelas. Sehingga di kelas tiga SD, aku tidak punya pendukung. Entah mengapa anak sekelas membenciku—hanya beberapa yang tidak. Berdasarkan ingatan samar yang aku miliki, ada seorang perempuan—sepertinya dia ketua kelas waktu itu—yang apabila dia membenciku, maka mayoritas anak sekelas akan membenciku juga. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti apa pengaruhnya sehingga dia begitu ditakuti anak sekelas—atau mungkin aku yang tidak mengingat soal ini.
Hari-hari di SD terasa berat. Aku sering menjadi bahan rundungan. Untungnya, aku masih pandai menggambar. Namun, aku membuat kesalahan saat menjawab pertanyaan guru yang menilai gambarku:
“Kamu nggak menggambar sendiri, ya?”
Aku salah memahami pertanyaan itu. Aku pikir yang dimaksud Ibu Guru adalah aku menggambar dengan referensi dari buku. Jadi, aku mengiyakan. Akan tetapi, aku kebingungan menjawab pertanyaan kedua:
“Digambarkan siapa?”
Bahkan setelah menyadari adanya kesalahpahaman, dengan bodohnya aku berbohong, “Kakak saya.”
Kebohongan itu adalah bentuk ketidakberanianku untuk menjelaskan. Jika aku memberi tahu yang sebenarnya, aku khawatir tidak akan ada yang percaya, lalu aku akan disalahkan lagi. Ibu Guru berkata bahwa ia memang sudah mengira gambarku terlalu bagus untuk ukuran anak SD. Namun, ia tidak memarahiku karena, katanya, ia suka anak yang jujur. Di sini, yang melukaiku bukan sang guru, melainkan diriku sendiri—gara-gara memiliki sikap rendah diri yang tumbuh akibat sering disalahkan.
Hari tergelap bagiku adalah saat aku dibiarkan jatuh ke saluran irigasi ketika melewati persawahan pada jam olahraga. Aku menikmati berjalan di tepian, lalu terpeleset dan jatuh. Perempuan, si ketua kelas itu, menghasut teman-temannya untuk meninggalkanku meskipun tahu aku telah jatuh ke dalam lubang di tepi jalan. Aku ditinggalkan sendirian di sudut dunia yang asing, yang bahkan aku tidak tahu arah jalan pulangnya. Namun, aku bangga pada diriku sendiri karena terus berusaha memanjat keluar dari lubang yang tingginya melebihi tinggi badanku. Meskipun harus mengais-ngais, meskipun sambil menangis, meskipun ketakutan setengah mati, dan meskipun aku harus berjalan pulang sendirian tanpa kawanan—benar-benar seperti binatang yang ditinggal kawanannya di alam liar.
Setibanya di kelas, tak satu pun menanyakan keadaanku. Sampai sekarang aku masih tidak mengerti mengapa kejadian ini sempat kulupakan selama dua puluh tahun. Memori tentang itu kembali saat aku dewasa, saat aku merasa lebih baik.
Sejak saat itu, aku benar-benar takut dengan segala hal yang menyangkut pertemanan. Aku tumbuh menjadi seseorang yang sulit percaya pada orang lain. Aku jadi semakin pendiam, semakin tidak berani, dan selalu merasa bahwa siapa pun tidak akan bersedia menerimaku sebagai teman. Hidupku terasa membaik pada masa SMP karena meskipun masih satu sekolah, aku tidak lagi sekelas dengan perempuan itu. Aku senang karena skala SMP lebih luas. Pada masa ini aku mulai merasakan pertemanan tanpa tuntutan—meskipun masih menyimpan rasa waspada. Dan pada masa ini pula aku lebih memilih berteman dengan mereka yang tidak berasal dari sekolah yang sama.
Jika masa SD dan masa SMP aku sering berurusan dengan teman sebaya, pada masa SMA aku mulai berhadapan dengan orang dewasa. Aku mendapat perilaku tidak pantas dari seorang pria dewasa—waktu itu aku belum tahu kalau itu termasuk grooming. Aku bingung kala itu. Mengapa dia menunjukkan video dewasa di usiaku yang masih remaja? Dari kejadian inilah aku mulai sedikit memahami bahwa di dunia orang dewasa, seorang bajingan sering kali tak menampakkan diri. Mereka bersembunyi di balik sikap manipulatif demi mendapatkan sesuatu yang mereka inginkan. Hal ini membuatku sedikit memahami alasan korban pelecehan seksual yang sering kali takut bercerita: karena mereka malu, takut tidak dipercaya, dan takut disalahkan.
Aku selalu berharap agar pria itu tidak punya daya untuk mengejarku lagi, agar dia tidak datang lagi saat aku sendirian, agar dia tidak membicarakan penyimpangan seolah itu normal. Sayangnya, aku pernah menganggapnya open-minded hanya karena berani membicarakan hal tabu yang kukira sebagai edukasi seks. Setelah menyadari bahwa ada sesuatu yang tidak benar, aku mulai menjaga jarak. Tak hanya dengan pria itu, tetapi hampir kepada setiap orang dewasa. Orang-orang mulai beranggapan bahwa aku sombong, tidak mau bergaul, dan tidak punya sopan santun—padahal aku sedang mencoba melindungi diri. Aku benar-benar tidak peduli lagi pada pandangan mereka.
Suatu hari, harapanku terkabul. Pria itu kehilangan kaki dan tak bisa mengejarku lagi. Semua orang menangisi nasibnya, tetapi aku menjadi satu-satunya yang tidak merasa sedih sedikit pun. Hal ini membuatku merasa seperti tokoh jahat dalam sebuah film, tetapi aku merasa lega. Aku jahat, dan kelegaanku membuatku semakin yakin bahwa aku benar-benar jahat. Setidaknya dari kejadian ini, aku jadi percaya bahwa karma itu nyata.
Bahkan di masa kuliah, aku masih sering menghindari orang-orang dan selalu butuh waktu untuk bisa berbicara kepada orang baru. Aku bahkan sering kabur saat ada undangan pertemuan dari organisasi yang kuikuti—yang mengakibatkan aku disindir ramai-ramai dalam sebuah forum organisasi. Di sini, rasa bersalah, kecewa, bercampur amarah yang kupendam. Rasanya aku mulai mati rasa.
Saat kecil, aku selalu berpikir bahwa dunia orang dewasa akan lebih aman. Nyatanya, menjadi dewasa seperti memasuki ruang gelap sehingga siapa pun kesulitan menebak apa yang ada di sekitar. Dibanding masa kecil, dunia dewasa membuat siapa saja kesulitan menilai seseorang, sehingga aku perlu terus belajar. Sampai hari ini, aku terbiasa tidak diterima di suatu lingkungan. Bahkan saat bertemu orang baru, aku selalu merasa bahwa orang itu tidak akan menerimaku. Dan jika aku mencoba menerimanya, suatu saat aku pasti akan disudutkan lagi.
Pasca wisuda, tekanan sosial semakin tak terkira. Aku dituntut mencari pekerjaan, menikah, dan hidup normal. Lalu aku memilih mengurung diri di kamar dan semakin tidak peduli pada sekitar. Aku mengurung diri dengan tirai tertutup dan lampu mati. Tak ada yang kulakukan selain berbaring dan merasakan air mata mengalir ke telinga. Dunia benar-benar terasa hampa saat itu. Pada saat inilah aku merasa bahwa aku benar-benar membutuhkan bantuan profesional.
Kemudian pandemi COVID-19 datang dan muncullah kebijakan yang kusukai: social distancing dan stay at home. Lapangan kerja semakin sulit, tetapi aku punya alasan untuk tetap berada di rumah. Namun, di sinilah pemikiran paling gila sempat muncul: bahwa dunia ini akan tetap baik-baik saja meskipun tanpa keberadaanku.
Aku masih ingat saat seseorang berkata padaku seperti sebuah perintah,
“Jadilah manusia seperti pada umumnya manusia. Keluarlah. Sapa orang-orang.”
Lalu aku bertanya,
“Kenapa aku harus jadi seperti mereka? Biar apa?”
Dia bingung menjawab. Dari pertanyaanku yang tak terjawab, aku sadar bahwa orang lain pun sebenarnya tidak benar-benar memahami. Ada kesenjangan antara aku dan mereka. Orang lain ingin terlihat sama agar tidak dipandang berbeda, sedangkan aku tidak ingin terlihat sama.
Pada akhirnya, yang kulakukan hanya menulis. Aku tetap menulis meskipun orang lain berkata: menulis tidak ada gunanya. Aku membangkitkan mimpi yang nyaris terkubur dalam-dalam. Aku menulis banyak cerita meskipun terus mendapat penolakan dari penerbit. Aku tidak percaya diri jika orang lain tahu bahwa aku menulis. Jadi, aku membuat akun media sosial baru dengan nama pena dan menulis cerita di sana. Aku mulai merasa hidup bukan saat buku pertamaku terbit, tetapi saat ada orang asing yang menghargai tulisanku dan memberi dukungan. Saat itu aku menyadari bahwa di luar lingkungan yang hampir tak pernah kutinggalkan, pasti ada orang lain yang merasakan hal serupa denganku.
Aku merasa dibutuhkan saat ia menawarkan kerja sama. Teman baru yang kutemui lewat media sosial tidak hanya membantuku bangkit, tetapi juga melangkah. Mereka tidak mengarahkan jalan, tetapi membantuku menciptakan jalan yang kumau. Kepada merekalah aku berani menceritakan semua ini untuk pertama kalinya. Saat memori tentang luka masa kecilku kembali, aku berharap itu pertanda bahwa keadaanku telah membaik.
Sampai hari ini, menulis adalah bentuk penyembuhanku. Aku berlatih menyusun kata dan menganalisis diriku sendiri melalui tulisanku. Lewat kata-kata, aku berdamai dengan masa lalu, dengan ketakutan, dengan diriku sendiri. Aku ingin membuktikan bahwa aku mampu meraih mimpiku, bahkan yang menurut orang-orang mustahil sekalipun. Menulis adalah jalanku menuju suasana hati yang baik-baik saja. Meskipun aku belum sepenuhnya baik-baik saja, aku yakin aku sedang menuju ke sana.
Untuk siapa saja yang membaca ini, semoga kita bisa belajar untuk lebih lembut dalam memperlakukan orang lain. Kita tidak pernah tahu apa yang sedang mereka bawa, atau luka lama seperti apa yang sedang mereka coba sembuhkan. Kita juga tidak pernah tahu hal kecil apa yang dapat membuka luka lama mereka. Mungkin, satu sikap baik dari kita dapat membuat mereka bertahan. Karena penyembuhan tidak hanya tentang diri sendiri, tetapi juga tentang bagaimana kita memperlakukan orang lain. Sedikit empati bisa membuat dunia terasa lebih aman bagi mereka yang sedang berjuang dalam diam. Mari belajar untuk lebih manusiawi dalam memperlakukan siapa pun yang kita temui.
