Bukan Aku yang Merawat Alam, tapi Alam yang Merawatku

Di tengah dunia yang begitu sibuk, pernahkah kita memberi diri sendiri waktu untuk berhenti sejenak—sekadar memperhatikan dedaunan yang bergoyang, merasakan angin sejuk yang menerpa tubuh, atau merasakan lembutnya tekstur tanah di kaki kita?

Sekitar satu tahun terakhir, aku memiliki kebiasaan baru: merawat tanaman. Rasanya seperti memulai sebuah kehidupan baru. Aku memutuskan untuk mengubah halaman kecil di rumah menjadi kebun produktif. Setiap pagi aku menyiram, setiap minggu memberi pupuk, dan setiap kali ada kesempatan, aku memanen hasilnya dengan perasaan bahagia yang sulit dijelaskan. Di antara jari-jemariku tumbuh kehidupan—berawal dari benih kecil, lalu berkecambah, tumbuh dewasa, dan akhirnya memberi hasil yang bisa dikonsumsi.

Perlahan, aku menyadari kebiasaan ini menumbuhkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanaman. Di halaman kecil itu, terbentuk sebuah ekosistem mini yang ternyata juga menjadi cermin pertumbuhanku sendiri.

Tanpa kusadari, bukan hanya sayur-mayur yang tumbuh, tetapi diriku pun ikut bertumbuh. Merawat tanaman mengajarkanku arti kesabaran—mengubahku yang dulu si sumbu pendek menjadi seseorang yang mulai belajar menahan diri dan memahami ritme alam. Aku belajar bahwa tugasku bukan membuat tanaman tumbuh secepatnya, melainkan merawatnya dengan penuh perhatian: memberi nutrisi secukupnya, menyingkirkan hal-hal yang menghambat pertumbuhannya, lalu menyerahkan hasilnya pada kehendak Tuhan.

Dari situ aku paham, kehidupan pun sama seperti tanaman—terus bertumbuh, meski dalam hal kecil sekalipun. Setiap langkah kecil adalah berharga. Kita hanya perlu setia merawat, bukan tergesa memetik hasil.

Dalam setiap bunga yang mekar, dalam setiap benih yang berkecambah, ada senyuman dan kebahagiaan yang turut hadir dalam diriku. Ada kebahagiaan sederhana yang tumbuh tanpa diminta. Perlahan, aku menemukan alasan baru untuk tersenyum setiap hari. Tekanan hidup yang dulu menggangguku kini menjadi sesuatu yang bisa aku hadapi dengan tenang. Hingga aku sadar, bukan aku yang merawat alam, tapi alam yang merawatku.

Beberapa waktu lalu, aku membaca sebuah jurnal penelitian yang dipublikasikan di Biomedical Journal berjudul “Practical Applications of Grounding to Support Health” yang ditulis oleh Laura Koniver pada tahun 2022. Di sana dijelaskan bahwa seluruh elemen di alam semesta memiliki energi yang saling terhubung, mengalir dalam satu arus yang konstan—mirip dengan arus searah dalam kelistrikan yang dikenal sebagai Direct Current (DC).

Ketika kaki telanjang kita bersentuhan langsung dengan tanah, tubuh akan ikut tersambung dalam aliran energi tersebut. Dalam keadaan itu, tubuh manusia memasuki kondisi penyembuhan alami, baik secara fisik maupun mental.

Suatu hari, aku pernah bertemu dengan seorang praktisi permakultur yang mengidap penyakit cukup serius: lupus dan stroke. Dalam pertemuan singkat itu, beliau bercerita bahwa kegiatan bertani—terutama bertani dengan mengikuti sistem alam—perlahan memberi dirinya harapan hidup yang lebih panjang dari perkiraan medis semula.

Kisah itu mengejutkan banyak pihak, terutama para dokter yang merawatnya. Namun, bagi beliau, keajaiban itu terasa begitu alami. Sejak mulai bertani selaras dengan ritme alam, ia merasa pikirannya lebih tenang, hatinya dipenuhi rasa syukur, dan lebih jauh lagi, ia merasa adil terhadap alam—tidak mengeksploitasi berlebihan. Lingkungan tempat tinggalnya pun berubah menjadi lebih hijau, lebih segar, dan penuh kehidupan. Dari tanah yang dirawat dengan kasih, tumbuh pula sumber pangan yang menyehatkan tubuh dan menenangkan jiwa.

Aku ingat ketika beliau berkata, “Saat tangan kita menyentuh dedaunan, tanaman akan menyerap energi negatif dan mengalirkan energi positif ke tubuh.”

Semua ini mengingatkanku bahwa pada dasarnya manusia adalah alam itu sendiri, bukan sesuatu yang terpisah. Dan mungkin, saat kita menanam, menyiram, atau sekadar berjalan tanpa alas kaki di halaman rumah, sesungguhnya kita sedang pulang—pulang ke bumi, dan pulang ke diri sendiri.

Perempuan yang akrab disapa Nuzul ini adalah seorang pegiat urban farming yang merawat tumbuhan dan hewan ternak dalam skala rumahan. Ia juga aktif di berbagai komunitas literasi di Kota Bandung. Kegemarannya pada kegiatan alam terbuka membawanya semakin dekat dengan alam, menyentuh tanah, merawat kehidupan kecil di sekitarnya, dan menemukan ketenangan di antara dedaunan yang tumbuh. Baginya, menulis adalah cara untuk berbagi sekaligus merekam memori, menjaga agar setiap pengalaman dan pelajaran dari alam tidak hilang begitu saja. Saat ini, Nuzul tengah terlibat dalam program Urban Futures, sebuah inisiatif yang melibatkan berbagai NGO dan Instansi Pemerintahan untuk membangun masa depan kota yang lebih berkelanjutan. Ia terus belajar dan bertumbuh perlahan, seperti tanaman yang ia rawat dengan cinta dan kesabaran.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *