Teror Mata Menyala

Aku menatap ke sekeliling. Rasanya kelam sekali. Gelap serasa menggigit. Bulu kudukku berdiri. Ada sepasang mata di balik tiang itu. Menyala seperti hendak menerkamku. Aku harus berbuat sesuatu! Dia pasti akan melukaiku!

Aku mencoba mencari senjata untuk melawan makhluk itu. Tatapan matanya semakin mengerikan. Pisau lipatku, mana pisau lipatku? Biasanya ada di kantung jaketku. Kok, sekarang tidak ada? Ah, ini dia, di saku celana. Aku harus membunuhnya, sebelum dia membunuhku!

“Lu ngefly lagi ya? Liat nih, serbuknya berhamburan kemana-mana!”

Pemilik sepasang mata itu berteriak. Aku harus membunuhnya! Aku harus membunuhnya. Aku angkat tangan kananku, pisau lipatku sudah kugenggam dengan baik. Aku harus cermat, menghunus bagian paling tajam tepat di dadanya.

“Hey, lu mau apa? Mau bunuh gua?”

Mata itu semakin menyala. Aku melihat kilatan mata pisau di tanganku. Kilatnya menyilaukan mata. Aku ayunkan tanganku. Dalam sekejap, aku mendengar jeritan. Entah apa yang aku lakukan. Tiba-tiba, bagian belakangku terasa lembab. Aku merabanya. Basah. Ternyata itu darah.

“Buang pisaunya, buang pisaunya ke laut!” Aku masih sempat mendengar teriakan itu. Sebelum semuanya menjadi gelap.

Aku merasa mataku berat. Namun, aku paksakan untuk membukanya. Putih. Semuanya serba putih. Di mana ini?

“Udah bangun, lu?”

Aku menengok ke asal suara itu. Aku melihat sosok laki-laki. Aku seperti mengenalnya. Tapi entah di mana.

“ Entar gue balik lagi, kalo udah sadar, oke?” Kata dia, sambil beranjak dari kursi di samping tempatku berbaring. “Gue cabut dulu. Bini gue udah nyariin.”

Ia berjalan ke arah pintu. Sebelum membukanya, ia berbalik dan menatapku.

“Cewek lu udah dijemput suaminya. Sampai saat ini, gue belum dapat kabar dari dia. Tapi, pisau lu udah gue buang ke laut. Kalo enggak, kasihan cewek lu. Bisa-bisa jadi tersangka dia!”

Setelah itu dia membuka pintu, dan menutupnya lagi.

Aku menutup wajahku. Aku menggigil ketakutan. Mata itu pasti mengintip dari salah satu sudut kamar ini. Termosku, mana termosku? Setetes anggur merah pasti bisa membuatku rileks. Dan bubuk- bubuk putih itu? Mana jaketku? Aku ingat, bubuk-bubuk putih itu aku masukkan ke salah satu kantung jaket itu.

Anggur merah dan bubuk putih, mereka temanku. Teman yang mengawalku di saat sepasang mata menyala itu mengancamku. Aku sudah tidak peduli apa kata Ibu dan kakakku. Mereka sudah menyerah, tidak sanggup, atau lebih tepatnya sudah tidak peduli, lagi dengan kondisiku. Dengan ketakutan-ketakutanku.

“Kelamaan,” kata kakakku, ketika aku menceritakan proses pengobatan yang aku perlukan.

“Jamu aja, lebih murah,” kata Ibu, ketika aku minta uang untuk membeli obat.

Jadilah aku mencuri perhiasan ibuku, atau barang-barang kakakku. Untuk berobat? Apa gunanya obat-obat, terapi-terapi itu. Bubuk putih dan anggur merah lebih bisa mengusir ketakutanku. Aku jadi punya nyali untuk menghadapi sepasang mata itu.

Jadi, sekarang, di mana kedua sahabatku itu? Lekas, aku harus mendapatkannya. Sepasang mata itu datang lagi. Kali ini, lengkap dengan balutan baju putih, dan barang berbentuk bulat di dadanya. Aku berteriak ketakutan. Tidak aku pedulikan kebisingan suara alarm yang tiba-tiba datang entah dari mana, memanggil beberapa orang yang berhamburan datang, dan memegangiku dengan cengkeraman kuat.

Seorang pegiat literasi yang menekuni dunia penerjemahan dan arsip pengetahuan. Lulusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas Sastra Universitas Indonesia ini telah menerjemahkan sejumlah karya penting yang diterbitkan oleh Marjin Kiri, di antaranya Penghancuran Buku dari Masa ke Masa karya Fernando Báez, Problem Domestik Bruto karya Lorenzo Fioramonti, serta Marinaleda: Eksperimen Kota Kecil Antikapitalis karya Dan Hancox. Karya terbarunya, Menjadi Arab karya Sumit Mandal, akan segera terbit. Sebelumnya, Lita pernah mengelola ribuan arsip gerakan mahasiswa di Indonesia saat menjadi Kepala Divisi Database dan Informasi di The Ridep Institute, Jakarta. Ia juga pernah berkiprah sebagai editor dan pengelola program radio di Voice of Human Rights, serta menjadi moderator aktif di komunitas Goodreads Indonesia. Kini, Lita tengah terlibat dalam penyusunan ensiklopedia tentang Gerakan Perempuan Kepala Keluarga bersama Yayasan PEKKA, Jakarta. Di sela kesibukannya, ia terus menghidupkan semangat baca dan dialog kritis lewat berbagai program diskusi buku, termasuk diskusi daring Ocehan Random bersama Juinita Senduk.


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *