Dalam Setiap Kelahiran

Dalam setiap kelahiran, ada rotasi yang terus berputar: lahir, perjalanan hidup, lalu kematian.
Bagiku, menjadi manusia tidaklah mudah. Kita tidak dapat memilih untuk lahir dari keluarga seperti apa, dengan rupa seperti apa, atau dalam keadaan ekonomi yang bagaimana.
Kita hanya dipilih oleh Tuhan untuk menjalankan tugas—sebuah proses yang sering kali tidak kita sukai, dan tidak selalu sesuai dengan keinginan kita.
Namun, dengan menjadi manusia, kita belajar—terus belajar.

Bagi mereka yang menyadari pembelajaran ini sebagai lelaku diri, perjalanan hidup menjadi ruang refleksi.
Sayangnya, tidak sedikit juga yang bingung: ke mana arah pulang, dan bagaimana menyelesaikan tugas-tugas yang sering diberikan kehidupan kepada kita.
Banyak dari kita yang mencari, lalu tumbang—hanyut dalam pusaran kehidupan yang menyesatkan.

Hari ini, data tahun 2024–2025 menunjukkan bahwa 34,9% remaja berusia 10–17 tahun mengalami gangguan kesehatan mental dalam 12 bulan terakhir (dikutip dari beberapa jurnal daring).
Angka ini sangat memprihatinkan. Negara seharusnya hadir dan ikut mengatasi hal ini, namun justru sering kali menutup mata.
Ditambah lagi dengan keadaan ekonomi yang semakin mencekik rakyat di berbagai daerah, serta arus teknologi yang begitu cepat, memperparah kondisi mental generasi muda kita hari ini.

Paparan teknologi sering kali mendorong remaja untuk mencari pembenaran atas stres yang mereka alami hingga berujung pada depresi atau mendiagnosis diri sendiri.
Padahal, belum tentu mereka benar-benar memiliki gangguan jiwa; banyak yang hanya berada pada lapisan stres ringan.
Sayangnya, tidak sedikit dari mereka yang datang ke psikiater yang salah dan akhirnya divonis memiliki gangguan jiwa demi kepentingan bisnis pihak tertentu.
Padahal, dengan perhatian dan kasih sayang yang cukup, stres semacam itu seharusnya bisa ditanggulangi tanpa label penyakit mental.

Dulu, aku pun memiliki trauma didikan dari orang tua—banyak tuntutan ini dan itu hingga aku tidak tumbuh besar di rumah.
Aku berkelana, berjalan ke sana kemari, berulang kali kabur dari keadaan.
Sampai akhirnya, aku berhenti.
Dalam jeda dua tahun itu, aku merenung, bermuhasabah dengan alam, membaca banyak hal, dan bermeditasi.
Semua itu menuntunku untuk menjadi lebih tegar dan belajar memahami semesta.

Kini aku mulai berdamai dengan masa lalu dan justru diberi banyak keberkahan.
Sering kali aku melatih napas, menyelam ke dalam diri untuk mencari pemaknaan sejati kehidupan.
Bagiku, setiap kesakitan dan problematika hidup bisa disusun ulang menjadi gambar yang utuh—tidak selalu indah, tetapi bisa diolah menjadi sesuatu yang bermakna, asal kita tahu caranya.

Hari ini, aku dipertemukan dengan banyak kawan yang tekanannya lebih berat dariku.
Di usia muda, mereka tertawa dan bercanda seolah tanpa beban, namun di balik itu semua, ada kepura-puraan yang harus mereka pertahankan demi hiburan sosial semata.

Maka, lewat catatan kecil ini, aku ingin mengajak kawan-kawan:
Mari mengenal diri. Berhenti bergantung. Belajarlah keluar dari diri.
Karena sesungguhnya, yang mampu memperbaiki diri hanyalah kita sendiri.
Orang lain hanyalah pesan cahaya dari Tuhan—dalam bentuk pelukan, tanda, atau kunci—agar kita mampu bangkit dan mencari cara membuka pintu dari misi jiwa dan makna sejati kehidupan.

Salam dariku,
Krisnandi Hanggara Putra

“Jangan putus asa. Setiap cerita punya maksud dan solusinya. Tetaplah menanam kebaikan, karena suatu hari, kita semua akan memanennya dalam suka yang sejati.”


Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *